Jakarta,
Semakin hari, teknologi untuk mendeteksi dan mengobati berbagai penyakit
semakin canggih saja, walaupun dibarengi dengan kenyataan bahwa tes-tes
yang rumit itu juga tergolong mahal. Namun teknologi yang paling baru
ini tidaklah kompleks, mudah digunakan dan sangat terjangkau karena
hanya menggunakan bau mulut manusia.
Teknologi ini dikembangkan oleh tim ilmuwan dari Georgia Institute of Technology dan pertama kali diperkenalkan pada tanggal 2 Juni 2012 di pertemuan tahunan American Society of Clinical Oncology di Chicago. Meskipun masih menunggu hasil uji klinisnya, teknologi yang disebut cancer-detecting breathalyzer system ini mampu melakukan deteksi awal untuk kanker payudara dan kanker paru-paru.
Alat ini pun diharapkan dapat secara drastis mengurangi biaya yang harus ditanggung pasien kanker di Amerika Serikat, selain itu memungkinkan perluasan screening di negara-negara dengan infrastruktur yang tidak memadai dan masih tabu terhadap teknologi mammogram.
"Sebagian besar orang bergerak menuju teknologi yang lebih kompleks dan lebih mahal. Aku ingin sesuatu yang kasar tapi murah dan cukup mudah untuk dilakukan," ujar Charlene Bayer, seorang profesor teknik kimia di Georgia Tech dan ketua tim peneliti proyek ini seperti dilansir dari livescience, Kamis (14/6/2012).
Cancer breathalyzer ini bekerja dengan terlebih dahulu menangkap napas pasien dalam sebuah wadah yang dirancang khusus. Setelah berada di dalam wadah tersebut, napas itu akan tetap segar sampai 1,5 bulan dengan penyimpanan dalam lemari pendingin.
Wadah berisi napas ini kemudian dikirim ke laboratorium dimana sebuah sensor kimia akan mencari senyawa organik yang dipancarkan oleh tubuh yang terinfeksi kanker.
Karena semua dokter hanya perlu menyuruh pasiennya untuk bernapas ke dalam wadah dan kemudian mengirimnya ke laboratorium, tes ini secara radikal mengurangi biaya, waktu dan ketidaknyamanan pasien yang seringkali dikaitkan dengan scan CAT dan mammogram, terang Bayer.
Untuk pasien di negara-negara Barat, masalah utama dari screening kanker adalah biaya dan ketidaknyamanan. Tes ini dapat mengurangi biaya tes kanker payudara dari 800 dollar AS hingga kurang dari 100 dollar AS, kata Bayer. Selain itu, tes ini takkan menimbulkan ketidaknyamanan fisik.
Untuk pasien di negara-negara berkembang atau negara yang memiliki pembatasan gender yang ketat, tes ini bisa membuka lebih banyak kesempatan untuk upaya pencegahan kanker. Tidak hanya menurunkan biaya screening, tetapi dokter yang beroperasi di pegunungan, daerah terpencil atau hutan tebal sekalipun tetap bisa melakukan tes ini.
Selain itu, banyak kebudayaan yang melarang adanya keintiman fisik yang diperlukan untuk melakukan tes seperti mammogram. Dengan tes napas ini, seorang wanita yang mengenakan burqa juga bisa menjalani screening untuk kanker payudara tanpa harus melanggar budayanya.
Tes ini tidak memiliki akurasi yang sama seperti tes lain yang lebih mahal, bahkan takkan benar-benar menggeser teknologi yang sudah ada sebelumnya tersebut, tandas Bayer. Sebaliknya, Cancer breathalyzer akan membantu menentukan apakah pasien perlu pengujian lebih lanjut dengan perangkat yang lebih mahal dan intrusif itu atau tidak.
Teknologi ini dikembangkan oleh tim ilmuwan dari Georgia Institute of Technology dan pertama kali diperkenalkan pada tanggal 2 Juni 2012 di pertemuan tahunan American Society of Clinical Oncology di Chicago. Meskipun masih menunggu hasil uji klinisnya, teknologi yang disebut cancer-detecting breathalyzer system ini mampu melakukan deteksi awal untuk kanker payudara dan kanker paru-paru.
Alat ini pun diharapkan dapat secara drastis mengurangi biaya yang harus ditanggung pasien kanker di Amerika Serikat, selain itu memungkinkan perluasan screening di negara-negara dengan infrastruktur yang tidak memadai dan masih tabu terhadap teknologi mammogram.
"Sebagian besar orang bergerak menuju teknologi yang lebih kompleks dan lebih mahal. Aku ingin sesuatu yang kasar tapi murah dan cukup mudah untuk dilakukan," ujar Charlene Bayer, seorang profesor teknik kimia di Georgia Tech dan ketua tim peneliti proyek ini seperti dilansir dari livescience, Kamis (14/6/2012).
Cancer breathalyzer ini bekerja dengan terlebih dahulu menangkap napas pasien dalam sebuah wadah yang dirancang khusus. Setelah berada di dalam wadah tersebut, napas itu akan tetap segar sampai 1,5 bulan dengan penyimpanan dalam lemari pendingin.
Wadah berisi napas ini kemudian dikirim ke laboratorium dimana sebuah sensor kimia akan mencari senyawa organik yang dipancarkan oleh tubuh yang terinfeksi kanker.
Karena semua dokter hanya perlu menyuruh pasiennya untuk bernapas ke dalam wadah dan kemudian mengirimnya ke laboratorium, tes ini secara radikal mengurangi biaya, waktu dan ketidaknyamanan pasien yang seringkali dikaitkan dengan scan CAT dan mammogram, terang Bayer.
Untuk pasien di negara-negara Barat, masalah utama dari screening kanker adalah biaya dan ketidaknyamanan. Tes ini dapat mengurangi biaya tes kanker payudara dari 800 dollar AS hingga kurang dari 100 dollar AS, kata Bayer. Selain itu, tes ini takkan menimbulkan ketidaknyamanan fisik.
Untuk pasien di negara-negara berkembang atau negara yang memiliki pembatasan gender yang ketat, tes ini bisa membuka lebih banyak kesempatan untuk upaya pencegahan kanker. Tidak hanya menurunkan biaya screening, tetapi dokter yang beroperasi di pegunungan, daerah terpencil atau hutan tebal sekalipun tetap bisa melakukan tes ini.
Selain itu, banyak kebudayaan yang melarang adanya keintiman fisik yang diperlukan untuk melakukan tes seperti mammogram. Dengan tes napas ini, seorang wanita yang mengenakan burqa juga bisa menjalani screening untuk kanker payudara tanpa harus melanggar budayanya.
Tes ini tidak memiliki akurasi yang sama seperti tes lain yang lebih mahal, bahkan takkan benar-benar menggeser teknologi yang sudah ada sebelumnya tersebut, tandas Bayer. Sebaliknya, Cancer breathalyzer akan membantu menentukan apakah pasien perlu pengujian lebih lanjut dengan perangkat yang lebih mahal dan intrusif itu atau tidak.
Sumber: health.detik.com
No comments:
Post a Comment